Gorontalo adalah sebuah provinsi baru yang merupakan pecahan dari provinsi Sulawesi Utara
Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo sekaligus menjadi ibukota Kawasan Teluk Tomini di Semenanjung Utara Pulau Sulawesi..
Gorontalo dikenal sebagai suku asal dari Presiden RI ke-3 yaitu B.J. Habibie.
Jika Aceh diberi julukan “Serambi Mekah”, maka Gorontalo dijuluki sebagai “Serambi Madinah”. Hal tersebut karena mayoritas warganya yang memeluk agama Islam. Gorontalo dalam sejarahnya, juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah sekitar Sulawesi Utara.
Nilai-nilai keislaman banyak diterapkan di berbagai aspek kehidupan dan budaya masyarakatnya.
Gorontalo tercatat memiliki wisata alam unggulan berupa pegunungan, pantai dan pulau pulau kecil yang sangat istimewa. Tak kalah dengan wisata unggulan lain di Indonesia. Kemajuan dalam hal pembangunan dan ekonomi semakin pesat semenjak Gorontalo ditetapkan sebagai provinsi baru.
Namun dibalik semua hal positif diatas, nun hauh di pedalaman hutan, tepatnya di lereng Gunung Boliyohuto, Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo. Terdapat sekelompok masyarakat yang masih sangat terasing. suku Polahi namanya.
Selain pola hidupnya yang masih nomaden dan sangat sederhana,. ada tradisi Suku Polahi yang tak lazim bagi masyarakat umum, yakni perkawinan sedarah.
Menurut sejarah, orang Polahi telah mengasingkan diri dari kehidupan umum sejak abad ke-17 atau masa penjajahan Belanda di Nusantara. Polahi sendiri berasal dari bahasa Gorontalo yakni lahi-lahi yang berarti pelarian.
Karena itu pula kebanyakan orang Polahi masih merasa, bahwa saat ini masih dalam masa penjajahan Belanda.
Pemimpin suku saat itu memilih mengasingkan diri ke hutan lantaran menolak tunduk pada peraturan serta penindasan yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sejak itu anggota suku ini hidup nomaden atau berpindah-pindah di dalam hutan.
Biasanya mereka pindah saat ada salah satu anggota keluarga yang meninggal. Menurut kepercayaan Suku Polahi, jika ada yang meninggal di satu lokasi, mereka harus segera pindah. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, mereka akan mendapat kesialan atau kutukan.
Kehidupan Suku Polahi yang diwarnai dengan tradisi perkawinan sedarah atau inses. Bagi pandangan masyarakat umum, merupakan hal tabu dan dilarang. Namun, nyatanya perkawinan sedarah masih kerap dilakukan Suku Polahi.
Perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak, ibu dan anak, kakak dan adik, menjadi hal sangat biasa. Suku Polahi menganggap perkawinan sedarah merupakan sesuatu yang wajar.
Dari sudut pandang agama, perkawinan sedarah tentu saja dilarang. Dari sudut pandang medispun, hal itu bisa berdampak buruk pada keturunan. Anak yang dihasilkan dari perkawinan sedarah berpotensi mengalami kelainan fisik dan mental. Namun anehnya, hal itu tidak terjadi pada Suku Polahi.
Anak yang terlahir dari perkawinan sedarah lahir dalam keadaan normal, tidak cacat. Anak-anak Suku Polahi juga mengalami pertumbuhan serta perkembangan seperti orang normal.
Meski hidup mengasingkan diri, saat ini sebagian Suku Polahi sudah mampu beradaptasi dengan masyarakat umum. Mereka bersosialisasi termasuk berdagang dengan masyarakat untuk menjual hasil panen, lalu digunakan untuk membeli kebutuhan lain. Namun demikian, mayoritas Suku Polahi masih tetap memilih tinggal di hutan sebagai tempat tinggal.