About Me

Foto saya
Garut, Jawa barat, Indonesia
Penulis adalah seorang yang suka berpetualang, dan selalu ingin belajar serta mencoba hal-hal baru..
Tampilkan postingan dengan label suku terasing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label suku terasing. Tampilkan semua postingan

19 September, 2022

Korowai Suku Kanibal Terakhir

 

Seksinya Suku Korowai 





Berpendapat bahwa hanya kelompok kecil kita sebagai satu-satunya komunitas manusia yang ada di dunia. Hingga tak ada suku ataupun bangsa lain di dunia ini. Itu tentunya sangat naif, atau bahkan mungkin termasuk pemikiran yang sangat primitif.



Setidaknya keyakinan itu bisa bertahan sekian lama dan diyakini secara turun temurun oleh Suku Korowai hingga sekitar tahun 1970an. Saat itu ada sekelompok ilmuwan yang tersesat di Pedalaman Papua. Kemudian secara tidak segaja  memasuki wilayah suku Korowai . Para ilmuwan yang terdiri dari antropolog Peter Van Arsdale, ahli geografi Robert Mitton, dan seorang pengembang komunitas Mark Grundhoefer, kemudian memutuskan untuk mempelajari kehidupan suku Korowai.

Mereka pun melakukan observasi secara mendasar hingga mendapatkan daftar kata yang digunakan untuk dasar komunikasi.

Banyak klaim yang menyebutkan pertama kali menemukan keberadaan suku Korowai yang hidup terisolasi di pedalaman hutan lebat  Papua Selatan.  



Ada versi lain, yang mengatakan bahwa seorang Misionaris dari Belanda-lah yang tersesat di hutan adalah orang yang pertama kali menemukan keberadaan suku Korowai.

Namun yang pasti pada tahun tahun itulah pertama kali suku ini berinteraksi dengan orang asing diluar mereka yang sekian lama tinggal dalam lebatnya hutan Papua.



Populasi mereka sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang mereka sebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah.



Selin karena tradisi yang diwariskan secara turun temurun, alasan mereka tinggal di rumah pohon adalah agar mereka lebih aman dari serangan musuh dan mudahkan mereka untuk mengintai hewan buruan. 

Setiap klan suku Korowai memiliki wilayah teritorial  masing-masing yang disebut Bolup. Setiap Bolup terdiri dari satu hingha lima rumah pohon. Rata-rata mereka berjumlah dua puluh  sampai tiga puluh orang. Jika jumlah mencapai limapuluh orang, maka sebagian dari mereka akan pindah ke daerah lain lalu untuk membentuk Bolup lainnya.   Suku Korowai adalah salah satu suku di Papua yang tidak menggunakan koteka. Mereka melipat kemaluannya ke dalam kantung zakar kemudian mengikatnya dengan serat daun.

Suku Korowai merupakan salah satu suku asli yang mendiami beberapa kabupaten di wilayah adat Anim-Ha di Papua bagian selatan. Seperti di Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Asmat dan Kabupaten Mappi. 

Sejak saat itu keberadaan mereka mulai tercium dan menarik perhatian beberapa penggiat keagamaan, sosial, bahkan media massa. Sejak itu pula, rumah pohon Korowai menjadi sangat terkenal dan dimuat belasan majalah dan koran dalam dan luar negeri. Puluhan stasiun televisi pun memberitakannya. Beberapa stasiun tv dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Swedia, Finlandia, Japan, Australia, Swiss, Italia, Kroasia, Slovakia, Republik Ceko, Vietnam, bahkan televisi dari Indonesia sendiri TVRI.

Setelah itu ratusan film dokumenter banyak dibuat dan dipublikasikan.

Selain tradisi rumah pohon yang sangat unik, ada juga  isu tradisi kanibalisme yang terdengar mengerikan juga tersemat dan seolah telah menjadi magnet sekaligus label yang melekat pada suku ini.



Kanibalisme adalah praktek mengkonsumsi daging dari sesama manusia. 

Lalu apa benar suku ini memakan daging sesama mereka?

Dalam adat suku Korowai, ada seseorang yang disebut "Khakhua" atau dukun. Dalam perjalanannya, seorang Nakhua ada yang dicurigai melakukan sihir sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit atau mengalami kematian.

Ketika itu terjadi, Khakhua tersebut akan dihukum mati sebagai konsekwensi dari tindakannya.

Budaya tersebut berlaku sebagai sistem peradilan pidana Suku Korowai.  Khakhua tersebut harus dihukum mati tetapi tidak dengan cara dikuburkan.

Suku Korowai meyakini bahwa Khakhua bisa bangkit kembali dari kematian. Sehingga ada prosesi memisahkan tubuh korban dan memakan dagingnya. Dalam prosesi tersebut, Suku Korowai tidak melibatkan wanita hamil dan anak-anak.

Setelah prosesi memisahkan bagian tubuh dan memakan sebagiannya yang cukup mengerikan itu, masih ada prosesi lsin yang perlu dilakukan, yaitu mereka akan bernyanyi dan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu selama semalaman. 

Hukum itu tidak hanya berlaku pada Khakhua, mareka juga akan menghukum warganya yang melakukan kejahatan membunuh, mencuri istri orang lain, dan merusak sistem pertahanan makanan mereka.

Orang Korowai juga disebut Klufo Fyumanop. Klufo artinya orang, sedangkan Fyumanop artinya jalan di atas tulang kaki.

Penamaan ini untuk membedakan suku ini dari  Suku Citak Mitak menggunakan perahu sebagai alat transportasi utama.

Hal mengenai kanibalisme ini sebenarnya ingin penulis  kesampingkan mengingat saat ini, sebenarnya sudah tidak terjadi lagi. Terakhir praktik ini mereka lakukan pada prosesi eksekusi mati pada tahun 2007. 

Mayoritas klan Korowai memang tinggal di rumah pohon di wilayah teritori mereka yang  terisolasi. Namun sejak tahun 1980an sebagian dari mereka ada yang telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka pemerintah. Desa desa itu dibuka di Yaniruma di tepi Sungai Becking, area sekitar Kombai-Korowai, Mu, dan Basman atau daerah Korowai-Citak. 

Mulai tahun 1987, wilayah pedesaan juga dibuka di Manggél. Kemudian tahun  berikutnya dibuka juga di Yafufla, Mabül di tepi Sungai Eilanden, dan  sekitar tahun 98, duka kembali di Khaiflambolüp. Tingkat hunia desa desa baru itu memang  masih sangat rendah. Hal itu disebabkan jarak yang cukup jauh antara permukiman dan sumber daya makanan berupa hutan tempat sagu berada.

Dikutip dari berbagai sumber.


Baca juga: Suku terasing Maluku

Kampung Memek

Pesona Lombok


12 September, 2022

Togutil Suku Terasing Maluku


Suku Terasing Maluku

Maluku adalah salah satu wilayah yang memiliki banyak hal menarik bagi siapapun yang ingin mengenal Indonesia lebih jauh.



Kepulauan Maluku terdiri dari sekelompok pulau di wilayah timur Indonesia yang  saat ini terbagi  menjadi dua provinsi yaitu Maluku dan Maluku Utara.

Selain memiliki kekayaan alam yang berupa rempah rempah seperti cengkeh, lada, pala,  dll yang sudah terkenal ke seluruh dunia, Maluku juga memiliki pesona alam yang sangat memikat. Maluku memiliki potensi wisata alam melimpah seperti pulau,  gunung dan banyak pantai indah berkelas dunia yang menjadi primadona wisatawan domestik maupun asing. 



Pada liputan kali ini, penulis hanya akan menyoroti keberadaan suku suku yang mendiami wilayah Maluku dan Maluku Utara. Hal ini terkait viralnya pemberitaan di media sosial akhir akhir ini mengenai suku pedalaman hutan Maluku yang masih dianggap primitif.



Masyarakat yang mendiami kepulauan Maluku terdiri dari berbagai suku asli dan sejumlah bangsa pendatang, seperti suku bangsa dari pulau Sulawesi, seperti Bugis, Minahasa, Kaili, Buton, dll. Banyak pula pendatang dari pulau Jawa, seperti orang Jawa dan Sunda bahkan Madura. Etnis Tionghoa pun banyak terdapat di Maluku.

Ambon adalah suku asli terbesar Maluku yang banyak mendiami wilayah Ambon, Saparua, Seram Barat, Nusalaut, dan Haruku.

Masyarakat suku Ambon mayoritas memeluk dua agama besar yaitu agama Kristen Protestan dan Islam.

Dalam kesehariannya, mereka berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa Ambon.

Suku Tidore adalah suku asli Maluku terbesar lainnya. Suku Tidore, kebanyakan mendiami wilayah Tidore, di mana sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, bertani dan berladang. Suku Tidore mayoritas beragama Islam.

Hal itu karena Tidore, merupakan kesultanan  Islam yang sangat berpengaruh sejak abad ke-15.

Di Pulau Halmahera Utara, yang wilayahnya masuk ke dalam provinsi Maluku Utara ada sebuah suku yang terbilang masih sangat primitif. Suku itu bernama Togutil atau dikenal juga dengan sebutan Suku Tobelo Dalam.



Suku Togutil atau Tobelo Dalam adalah sebuah kelompok masyarakat tradisional yang hidup di hutan-hutan Halamahera di kawasan pulau Halmahera. Togutil sendiri dalam bahasa Tobelo memiliki makna terbelakang.

Kehidupan mereka memang masih sangat sederhana dan sangat tergantung dengan alam. Keberadaan hutan-hutan asli adalah rumah dan kehidupan sesungguhnya bagi suku Togutil. 



Saat ini ada sekitar 42 keluarga suku Togutil yang bermukim secara berkelompok di sekitar sungai Dodaga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem. Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan kayu atau bambu. 

Sementara itu orang Tobelo sebagian besar menghuni perkampungan di sekitar pesisir. Komunitas ini relatif maju karena tentunya sudah sedikit berbaur dengan warga sekitar.  



Secara fisik orang Togutil, memiliki raut muka dan warna kulit yang menunjukkan ciri-ciri ras Melayu yang lebih kuat daripada orang Tobelo.

Menurut cerita, orang Togutil sebenarnya penduduk pesisir yang lari ke hutan karena menghindari pajak pada pemerintah Belanda.

Sekitar tahun 1915, Pemerintah Belanda memang pernah mengupayakan untuk memindahkan memukimkan mereka di Desa Kusuri dan Tobelamo. Karena tidak mau membayar pajak, kelompok ini kembali masuk hutan dan upaya itupun mengalami kegagalan.

Hingga saat ini, suku Togutil masih menerapkan pola hidup secara nomaden. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di sekitar hutan Totodoku guna menemukan lahan baru untuk bercocok tanam.

Kemunculan Suku Togutil  belakangan ini sempat ramai diperbincangkan dan beredar di media sosial.

Kemunculan mereka diperkirakan dikarenakan banyaknya penambang dan penebang hutan secara liar yang mengakibatkan wilayah teroteri mereka semakin menyempit.

Bahkan kini Suku Togutil juga mulai sering muncul dari dalam hutan dan berinteraksi dengan warga sekitar yang tinggal di pinggiran hutan. 

Dalam berpakaian, Suku Togutil memiliki keunikan tersendiri. Mereka umumnya selalu dominan memakai pakaian warna merah. 

Dalam berpakaian, umumnya mereka hanya menutupi alat kelamin yang dinamakan  "Sabeba"  dengan bertelanjang dada. Hal itu berlaku bagi pria maupun wanita.

Namun seiring dengan waktu, kini sebagian dari mereka ada juga yang sudah menggunakan sabeba yang dipadukan dengan kaos pemberian dari warga luar.

Bahkan kini beberapa orang dari Suku Togutil juga sudah mulai mengenakan celana dalam. 

Suku Togutil biasanya berburu Rusa, Kodok, babi hutan, ikan ataupun udang pada malam hari dengan menggunakan tombak dari bambu. 


Baca juga: Sejuta pesona Papua

Dusun Memek di kota santri


Suku kanibal di Indonesia


17 Agustus, 2022

Orang Rimba Sumatera

Salah satunya adalah mengenai keberadaan suku terasing.  Setelah beberapa waktu lalu, netizen cukup heboh dengan 'penampakan' suku Mante di wilayah Aceh yang tertangkap kamera.

Dalam tulisan ini saya ingin mengupas keberadaan suku lainnya di pulau Sumatera yang tak kalah menarik untuk dibahas yaitu Suku Kubu, atau dikenal juga dengan sebutan orang Rimba. 

Adapun saat ini di ibukota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya hidup terasa begitu sesak dengan modernisasi, berikut persaingan ekonomi yang juga sangat ketat, di pelosok negeri ini masih ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak tersentuh peradaban, bahkan primitif.

Kali ini penulis berkesempatan untuk bisa mengunjungi bahwa tinggal selama beberapa waktu di wilayah  provinsi Jambi. Wilayah dimana suku Kubu itu berada.

Perjalanan darat memang cukup melelahkan. Kebetulan saya turut serta bersama rombongan rekan kerja yang akan bertugas disana. Oh iya, selain menjadi penulis paruh waktu, saya juga bekerja pada sebuah perusahaan penyedia barang sebagai seorang sales/marketing.

Jadi dalam perjalanan kali ini, untuk biaya transport dari kota tempat tinggal saya di daerah Garut Jawa barat menuju lokasi, otomatis gratis.

Singkat cerita, hari itu kamipun berangkat.

Kurang dari tiga puluh jam kami pun tiba di daerah Sarolangun, Jambi. 

Menariknya, di wilayah inilah terdapat hutan Taman Nasional Bukit Dua.belas (TNBD) yang jadi rumah dari sekitar 2000 jiwa Prang Rimba atau Suku Suku Anak Dalam atau yang biasa disebut juga dengan  suku Kubu.

Penyebutan Suku Kubu, mengarah pada suatu kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. 

Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat, yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan.

Kata Kubu berasal dari istilah ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Kemudian masyarakat sekitar menyebut mereka sebagai “Suku Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu karena bermakna menghina.

Selain di TNBD, sebagian kecil Orang Rimba juga terdapat di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT).

Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan.

Keseharian suku Kubu yang tinggal di hutan, sangat menggantungkan kehidupannya pada alam. Mereka bercocok tanam dan berburu secara berpindah pindah.

Dalam berpakaian, mereka pun masih mengenakan  kulit kayu dan rotan sebagai penutup bagian tubuh. Meski sebagian lain ada juga yang telah mengenakan kain sederhana.

Ular, Rusa, dan kelelawar, sering  jadi perburuanakan mereka yang tinggal di hutan Rimba.

Menurut cerita penduduk setempat, suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Menurut cerita lain disebutkan bahwa mereka berasal dari daerah Pagaruyung, yang mengungsi ke wilayah Jambi. Hal itu bisa diperkuat dengan adanya adat suku Anak Dalam yang punya kemiripan bahasa dan tradisi dengan suku Minangkabau.

 Kehidupan mereka masih menganut sistem semi nomaden, dan membuat kelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung”.  Kelompok iti terdiri dari beberapa kepala keluarga.  Pemilihan Tumenggung bisa berdasarkan garis keturunan. Namun saat ini siapapun bisa jadi Tumenggung asalkan dianggap punya kapasitas.

Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada agama tradisional. Akan tetapi, beberapa keluarga khususnya kelompok yang hidup di kawasan jalan lintas Sumatra telah ikut menjadi penganut Kristen atau Islam.

 Suku Kubu menurut catatan sejarah di Departemen Sosial1990, disebutkan bahwa keberadaan Suku Anak Dalam dulai pada tahun 1624. 

Pada masa itu, Kerajaan Jambi dan Kesultanan Palembang tak henti-hentinya bersitegang, meski keduanya berasal dari rumpun yang sama.

Pertempuran yang tak dapat terelakkan, terjadi di Air Hitam pada tahun 1629. Mereka yang tersisa dari pertempuran ini akhirnya tetap berdiam di hutan rimba, namun terbagi dalam dua kelompok masyarakat yang berbeda.

Menurut catatan Depdos, hal itulah yang bisa menjelaskan kenapa saat ini ada dua kelompok Suku Anak Dalam. Keduanya memiliki adat istiadat, ciri-ciri fisik, bahkan menggunakan bahasa yang berbeda. Perbedaan juga telihat  dalam hal tempat tinggal.

Suku Anak Dalam yang tinggal di hutan belantara Musi Rawas, Sumatera Selatan, berbicara menggunakan bahasa Melayu.

Dalam segi fisik pun, mereka berkulit kuning dan memiliki ciri fisik seperti ras Mongoloid, hampir mirip dengan kebanyakan  orang Palembang saat ini. Karena itu mereka dipercaya sebagai keturunan dari masyarakat Kesultanan Palembang.

Sementara itu, Suku Anak Dalam yang mendiami kawasan hutan Jambi memiliki ciri fisik rambut ikal, kulit sawo matang, dan bentuk mata yang cekung menjorok ke dalam. Dari ciri fisik, kelompok ini termasuk ras Wedoid, yaitu campuran Wedda dan Negrito. Kelompok etnis ini diperkirakan sebagai keturunan Kerajaan Jambi.

Bersambung..

Lihat juga: Suku kanibal di Indonesia










Mau Jadi Turis Gratis

Visi Arab Saudi 2030

 Saudi Arabia, Dulu, Kini dan Nanti Arab Saudi adalah negara paling penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Sejak zaman Nabi Ibrahim  seb...

Wisata Korea