About Me

Foto saya
Garut, Jawa barat, Indonesia
Penulis adalah seorang yang suka berpetualang, dan selalu ingin belajar serta mencoba hal-hal baru..
Tampilkan postingan dengan label https://keluaromah.blogspot.com/2022/08/ jalan jalan traveling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label https://keluaromah.blogspot.com/2022/08/ jalan jalan traveling. Tampilkan semua postingan

20 Agustus, 2022

Atap Langit Pulau Sumatra

Traveling dan Healing ke Jambi


Tak lengkap rasanya jika kamu berkunjung ke pulau Sumatra, tapi tidak memiliki rencana perjalanan ke gunung Kerinci.

Sebagai mana diketahui, gunung Kerinci adalah gunung api aktif tertinggi di pulau Sumatra, bahkan di Indonesia. Gunung Kerinci  memiliki ketinggian 3.805 mdpl.



Gunung Kerinci, secara administrasi masuk dalam wilayah kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. 


Dengan mengunjungi Gunung kerinci kamu akan mendapati beberapa titik keindahan sekaligus.Beberapa destinasi indah di sekitar Kerinci antara lain adalah kawah berisi air belerang yang berwarna hijau yang sungguh menawan.

Panorama Rawa Bento yang merupakan rawa berair yang diklaim sebagai yang tertinggi di pulau Sumatera.

Pemamdangan disini semakin terlihat mempesona dengan latar belakang keindahan Gunung Kerinci. 

Keindahan alam di kawasan danau ini memang sungguh sempurna. Selain keindahan danaunya disini kamu juga akan menemukan kekayaan flora dan fauna. 

Di kawasan Kerinci juga kamu bisa mengunjungi danau Gunung Tujuh. Danau ini merupakan salah satu Danau tertinggi di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Danau ini berada di ketinggian 1.950 meter di atas permukaan laut.


Bagi para pendaki, keindahan puncak Gunung Kerinci tentunya adalah tujuan utamanya. Namun didalam jalur pendakiannya, ada banyak keindahan yang bisa kamu temukan dan rasakan. 

Gunung Kerinci mang akan membuat siapa pun terpesona akan kemegahannya. Dari situs resmi pariwisata Indonesia, disebutkan

Gunung Kerinci termasuk dalam Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat yang juga merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan. 



Banyak flora dan fauna yang dapat kamu temukan disana. Tapir, Kuskus, Gajah, Siamang, Gibbon, monyet ekor panjang, dan ada juga tercatat ada140 jenis burung.



Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan tropis yang sangat menarik untuk dijelajahi dan di eksplorasi.

Puncak Gunung Kerinci memang layak untuk disebut sebagai surga dunia, meski dibutuhkan perjuangan berat untuk mencapainya.

Pendakian menuju Puncak Gunung Kerinci bisa memakan waktu kurang lebih selama dua hari. Untuk mencapainya, terdapat beragam jalur pendakian.Kamu bisa melalui jalur beraspal, jalur aliran sungai kecil, jalur berbatu cadas, jalur pasir, jalur padang rumput atau juga jalur hutan yang cukup lebat, hingga jalur dengan tanjakan yang memiliki kemiringan hingga 60 derajat.


Yang juga yang sering menjadi kendala bagi pendaki, adalah larangan untuk bermalam di ketinggian kurang dari 1.500 mdpl. Hal tu disebabkan oleh banyaknya binatang buas yang masih berkeliaran, seperti harimau Sumatera. 


Meskipun seribu rintangan yang tentunya harus dilewati, namun semua akan terbayar lunas ketika kamu dapat mencapai puncaknya. 

Dari puncak, kamu akan bisa menyaksikan kawah Gunung Kerinci, lanskap Kota Jambi, Padang, Bengkulu, Danau Kerinci, dan Danau Gunung Tujuh, bahkan juga Samudera Hindia yang membentang indah di kejauhan. 


19 Agustus, 2022

SAKAI

  1. Suku suku terasing di Indonesia
     Suku Sakai Terusir Tari Tanah Sendiri 

Nomaden adalah sebuah pola hidup manusia purba yang dilakukan karena ketergantungan mereka yang sangat tinggi pada alam, terutama dalam hal ketersediaan makanan.

Melanjutkan eksplorasi kita di pulau Sumatra, kini bergeser ke Utara, dimana terletak provinsi Riau. Di wilayah pedalaman Riau, ternyata masih ada sekelompok masyarakat yang masih melakukan pola hidup nomaden. Mereka sangat tradisional dan terbelakang. Kelompok masyarakat itu diidentifikasi sebagai suku Sakai.

Orang Sakai merupakan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara tradisional baik dalam melalukan kegiatan ekonomi seperti bercocok tanam, maupun berburu.

Orang Sakai hidup menjauhkan diri darikomunitas masyarakat yang lebih luas. Sebelumnya, Orang Sakai dinamai Orang Pebatin. Nama ini dikenal ketika Jepang menjajah Indonesia.

Riau tercatat sebagai wilayah dengan populasi suku Sakai yang signifikan

Suku Sakai termasuk dalam suku sub suku

Melayu, Minangkabau.

Mengenai asal usul mereka, beberapa ahli berpendapat, bahwa orang Sakai merupakan percampuran antara orang Wedoid dengan orang Minangkabau yang bermigrasi sekitar abad ke-14. Sebagian orang Sakai sendiri menganggap bahwa mereka datang dari negeri Pagaruyung, Minangkabau, Sumatra Barat.

Sebagian lainnya mengatakan mereka berasal dari Gasib atau Siak.

Orang Sakai terbagi menjadi  dua kelompok besar yaitu Perbatinan Lima Batin nan Limo) dan Perbatinan Delapan (Batin nan Salapan). Perbatinan ini dibedakkan dari ciri-ciri tanah yang dimiliki masing-masing perbatinan.

Tanah yang dimiliki Batin Salapan ditandai dengan kayu kapur dan sialang. Sementara Batin nan Limo ditandai dengan gundukan tanah. Baiklah kita coba kupas ciri masing masing kelompok di atas untuk bisa membedakan keduanya.

Konon, Perbatinan Lima berasal dari 5 keluarga yang sebelumnya tinggal di desa Mandau yang meminta kepada kepala desa Mandau untuk diberikan tanah karena tidak bisa kembali lagi ke kerajaan Pagaruyung ataupun ke Kunto Bessalam. Lalu, oleh kepala desa tersebut, diberikan hak ulayat atas beberapa tempat yang nantinya menjadi cikal bakal wilayah Perbatinan Lima.

Sementara itu, Perbatinan Delapan, menurut cerita, mereka berasal dari rombongan yang juga berasal dari Pagaruyung. Kelompok ini dipimpin oleh seorang Batin Sangkar yang memecah rombongan menjadi delapan. 

Masing-masing rombongan kemudian membuka hutan untuk dijadikan tempat pemukiman.

Kehidupan, tradisi dan adat suku Sakai masih sangat erat kaitannya  alam. Meskipun sebagian dari mereka kini sudah melakukan pertanian atau berladang. Walau bagaimanapun alam tetap menjadi rumah utama mereka. Namun sayangnya, karena kawasan hutan seiring waktu berubah menjadi daerah industri dan usaha, Suku Sakai pun mulai terdesak karena kehilangan sumber kehidupannya.

Suku Sakai memang tak begitu banyak terdengar. Masyarakat luas lebih mengenal suku Kubu sebagai suku primitif yang hidup di hutan belantara Jambi. Sangat sedikit sekali catatan mengenai suku Sakai hingga tidak banyak yang tidak tahu keberadaan dan eksistensi mereka. 

Gerikut, saya akan mengulas beberapa hal unik mengenai suku Sakai.

Suku ini disebut sebagai keturunan langsung Nabi Adam.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa SAKAI merupakan kepanjangan dari Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. 

Artinya mereka hidupnya di sekitar sungai serta bergantung pada hasil kekayaan sungai yaitu ikan untuk bertahan hidup.

Sementara ciri fisik suku ini lebih didominasi kulit cokelat gelap serta rambut berombak. Secara ras ereka tergolong dalam Veddoid. 

Karena belum adanya riset resmi, baik dari pemerintah maupun dari kalangan profesi dan akademisi, terjadilah perbedaan pendapat  mengenai asal-usul Suku Sakai ini.

Menurut catatan lainnya, Suku Sakai ini beral dari Melayu Tua atau Proto-Melayu dan Melayu Muda atau Deutro-Melayu.

Dikatakan, Melayu Tua datang pada tahun 2.500-1500 tahun sebelum Masehi. Lalu disusul migrasi dari Melayu Muda. Pada akhirnya, Melayu Tua tersingkir karena kemampuan kelompok Melayu Muda bertahan hidup lebih baik. Kelompok Melayu Tua terdesak ke daerah di pedalaman dan bertemu dengan orang-orang yang berasal dari ras Wedoid dan Austroloid. Itulah nenek moyang orang Sakai, yang menurut catatan itu berarti berasal dari hasil campuran keduanya.

Suku Sakai Memiliki kepercayaan yang cukup kuat akan "Antu" atau roh leluhur.

Meskipun orang Sakai banyak yang memeluk Islam, tapi mereka juga masih memiliki  kepercayaan yang mengaitkan segala sesuatu aspek kehidupan terhadap Anti tersebut. Misalnya jika mereka gagal panen, itu digambarkan sebagai Antu yang sedang marah.

Antu dipercaya sebagai kekuatan magis, makhluk halus, atau roh yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Tempat tinggal Antu diyakini berada jauh didalam hutan rimba yang tak terjamah manusia.

Cara hidup mereka sangat tergantung pada alam, hingga segala sesuatunya sebisa mungkin dibuat dari semua bahan yang tersedia di alam. Salah satu peralatan penting dalam keseharian mereka adalah Timo. 

Timo merupakan wadah yang dibuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Tapi ada juga beberapa bagiannya yang dibuat dari rotan. Jadi wadah yang dibuat dari kulit kerbau dan batas lingkarannya terbuat dari rotan yang kemudian diberi tali yang juga terbuat dari bahan rotan. Timo ini umumnya berfungsi sebagai wadah untuk menampung madu.

Ada juga alat yang bernama Gegalung Galo.

 Ini merupakan alat pertanian yang terbuat dari bambu serta pepohonan. Fungsinya untuk menjepit ubi "Manggalo" untuk diambil sari patinya. Ubi manggalo sendiri merupakan salah satu jenis tanaman penting yang biasa ditanam oleh mereka. Nantinya sari pati dari ubi manggalo itu akan ditampung dengan menggunakanTimo. 

Dalam hal pakaian, orang-orang Sakai  membuatnya dari bahan alam. Biasanya diambil dari kulit pohon dan juga rotan.

Suku Sakai punya aturan dalam berladang, salah satunya aturan dalam pembukaan hutan. Jika hukum adat tersebut dilanggar, tanaman atau tumbuhan yang sudah ditanam nantinya akan rusak oleh hewan liar atau hama.

Pola hidup mereka yang sangat bergantung kepada alam tentunya sangat membantu untuk melestarikan alam itu sendiri. Sayangnya dengan adanya eksplorasi berlebihan, penebangan hutan, dan semakin luasnya alih fungsi hutan menjadi tanaman industri seperti  kelapa sawit atau karet, menjadikan suku ini semakin terdesak. 

Semakin sempitnya hutan, otomatis berimbas pada  semakin terdesakn ya kehidupan mereka. Tradisi lama mereka yang sangat menjaga kelestarian alam dan ekosistemnya membuat mereka dijuluki sebagai penjaga alam. Karena alam semakin rusak, kehidupan, dan tradisi merekapun semakin rusak bahkan terancam punah.

Seiring terdesak nya hak atas hutan adat, cadangan pangan mereka pun tentunya ikut menyudut. Karena itu, untuk bertahan hidup,  tradisi mereka perlahan mulai berubah bahkan sebagiannya sudah mulai berbaur dengan warga. Meski itu sungguh berat, bahkan karena rendahnya daya saing mereka di tingkat masyarakat luas, keberadaan mereka sering diremehkan atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan merusak alam.



17 Agustus, 2022

Orang Rimba Sumatera

Salah satunya adalah mengenai keberadaan suku terasing.  Setelah beberapa waktu lalu, netizen cukup heboh dengan 'penampakan' suku Mante di wilayah Aceh yang tertangkap kamera.

Dalam tulisan ini saya ingin mengupas keberadaan suku lainnya di pulau Sumatera yang tak kalah menarik untuk dibahas yaitu Suku Kubu, atau dikenal juga dengan sebutan orang Rimba. 

Adapun saat ini di ibukota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya hidup terasa begitu sesak dengan modernisasi, berikut persaingan ekonomi yang juga sangat ketat, di pelosok negeri ini masih ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak tersentuh peradaban, bahkan primitif.

Kali ini penulis berkesempatan untuk bisa mengunjungi bahwa tinggal selama beberapa waktu di wilayah  provinsi Jambi. Wilayah dimana suku Kubu itu berada.

Perjalanan darat memang cukup melelahkan. Kebetulan saya turut serta bersama rombongan rekan kerja yang akan bertugas disana. Oh iya, selain menjadi penulis paruh waktu, saya juga bekerja pada sebuah perusahaan penyedia barang sebagai seorang sales/marketing.

Jadi dalam perjalanan kali ini, untuk biaya transport dari kota tempat tinggal saya di daerah Garut Jawa barat menuju lokasi, otomatis gratis.

Singkat cerita, hari itu kamipun berangkat.

Kurang dari tiga puluh jam kami pun tiba di daerah Sarolangun, Jambi. 

Menariknya, di wilayah inilah terdapat hutan Taman Nasional Bukit Dua.belas (TNBD) yang jadi rumah dari sekitar 2000 jiwa Prang Rimba atau Suku Suku Anak Dalam atau yang biasa disebut juga dengan  suku Kubu.

Penyebutan Suku Kubu, mengarah pada suatu kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. 

Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat, yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan.

Kata Kubu berasal dari istilah ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Kemudian masyarakat sekitar menyebut mereka sebagai “Suku Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu karena bermakna menghina.

Selain di TNBD, sebagian kecil Orang Rimba juga terdapat di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT).

Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan.

Keseharian suku Kubu yang tinggal di hutan, sangat menggantungkan kehidupannya pada alam. Mereka bercocok tanam dan berburu secara berpindah pindah.

Dalam berpakaian, mereka pun masih mengenakan  kulit kayu dan rotan sebagai penutup bagian tubuh. Meski sebagian lain ada juga yang telah mengenakan kain sederhana.

Ular, Rusa, dan kelelawar, sering  jadi perburuanakan mereka yang tinggal di hutan Rimba.

Menurut cerita penduduk setempat, suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Menurut cerita lain disebutkan bahwa mereka berasal dari daerah Pagaruyung, yang mengungsi ke wilayah Jambi. Hal itu bisa diperkuat dengan adanya adat suku Anak Dalam yang punya kemiripan bahasa dan tradisi dengan suku Minangkabau.

 Kehidupan mereka masih menganut sistem semi nomaden, dan membuat kelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung”.  Kelompok iti terdiri dari beberapa kepala keluarga.  Pemilihan Tumenggung bisa berdasarkan garis keturunan. Namun saat ini siapapun bisa jadi Tumenggung asalkan dianggap punya kapasitas.

Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada agama tradisional. Akan tetapi, beberapa keluarga khususnya kelompok yang hidup di kawasan jalan lintas Sumatra telah ikut menjadi penganut Kristen atau Islam.

 Suku Kubu menurut catatan sejarah di Departemen Sosial1990, disebutkan bahwa keberadaan Suku Anak Dalam dulai pada tahun 1624. 

Pada masa itu, Kerajaan Jambi dan Kesultanan Palembang tak henti-hentinya bersitegang, meski keduanya berasal dari rumpun yang sama.

Pertempuran yang tak dapat terelakkan, terjadi di Air Hitam pada tahun 1629. Mereka yang tersisa dari pertempuran ini akhirnya tetap berdiam di hutan rimba, namun terbagi dalam dua kelompok masyarakat yang berbeda.

Menurut catatan Depdos, hal itulah yang bisa menjelaskan kenapa saat ini ada dua kelompok Suku Anak Dalam. Keduanya memiliki adat istiadat, ciri-ciri fisik, bahkan menggunakan bahasa yang berbeda. Perbedaan juga telihat  dalam hal tempat tinggal.

Suku Anak Dalam yang tinggal di hutan belantara Musi Rawas, Sumatera Selatan, berbicara menggunakan bahasa Melayu.

Dalam segi fisik pun, mereka berkulit kuning dan memiliki ciri fisik seperti ras Mongoloid, hampir mirip dengan kebanyakan  orang Palembang saat ini. Karena itu mereka dipercaya sebagai keturunan dari masyarakat Kesultanan Palembang.

Sementara itu, Suku Anak Dalam yang mendiami kawasan hutan Jambi memiliki ciri fisik rambut ikal, kulit sawo matang, dan bentuk mata yang cekung menjorok ke dalam. Dari ciri fisik, kelompok ini termasuk ras Wedoid, yaitu campuran Wedda dan Negrito. Kelompok etnis ini diperkirakan sebagai keturunan Kerajaan Jambi.

Bersambung..

Lihat juga: Suku kanibal di Indonesia










15 Agustus, 2022

Eksotisme suku Dayak

Memilih untuk traveling dengan mengeksplorasi beragam destinasi wisata domestik, memang layak jadi pilihan. Beragam kekayaan alam, budaya, sejarah, ataupun religi memang terhampar dari Sabang hingga Merauke.

Ketika saya mulai menginjakkan kaki di luar negeri, kecintaan dan kebanggaan akan kekayaan terpendam milik bangsa itu justru semakin membuncah. Sehingga timbul niat dalam hati untuk bisa keliling Nusantara. Untuk bisa mengeksplorasi beragam keunikannya.

Saya yakin jika saja niat itu dapat terlaksana, tentunya akan ada sejuta catatan menarik yang bisa saya ulas. Keunikan alam, budaya, dan etnis yang luar biasa, tentunya itu adalah sebuah aset kita yang tak ternilai harganya.

Pada tulisan kali ini, aya akan mencoba fokus dengan keunikan etnis dan budaya suku Dayak. Suku yang ditenggarai sebagai suku asli Kalimantan, beserta beberapa suku lainnya seperti Melayu, Banjar dan Kutai.

Berbicara suku Dayak, tentunya pemikiran awam akan merujuk pada suku pedalaman yang hidup di hutan hutan Kalimantan.
Sejatinya kini suku Dayak tentunya sudah mengikuti kemajuan zaman, dan banyak yang tinggal di kota kota. Etnis Dayak tercatat mendiami hampir di semua provinsi di Kalimantan mulai Kalimantan Selatan, Timur, Tengah, Barat, hingga Kalimantan Utara sebagai provinsi termuda.
Suku Dayak pun terdapat di wilayah Sabah, Malaysia dan juga Brunei.

Tercatat, sedikitnya ada dalam enam rumpun dalam etnis utama Dayak, rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan atau disebut juga Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. 

Namun dalam catatan ilmiah, para linguis mengelompokan suku Dayak berdasar 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan.

Pada awal mememasuki abad baru tepatnya pada Februari tahun 2001, timbul peristiwa yang menggemparkan yaitu pecahnya kerusuhan Sampit  yang memunculkan kesan sangar, keras dan sakti pada suku/orang Dayak. Perstiwa itu memang telah menjadi catatan hitam dalam keragaman budaya dan etnis Nusantara.

Meskipun begitu, menurut penulis, itulah momentum tereksposnya suku Dayak di tingkat regional maupun nasional bahkan mungkin dunia. 

Bumi Kalimantan, dengan segala kekayaan sumberdaya alamnya yang melimpah, tentunya tak bisa mengesampingkan potensi di sektor  pariwisata. 

Pesona kecantikan alam maupun budaya juga masih menunggu untuk di eksplorasi lebih jauh..





Mau Jadi Turis Gratis

Visi Arab Saudi 2030

 Saudi Arabia, Dulu, Kini dan Nanti Arab Saudi adalah negara paling penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Sejak zaman Nabi Ibrahim  seb...

Wisata Korea